Nahdlatul Ulama (NU) merupakan ormas Islam terbesar di Indonesia yang kita kenal memiliki sikap yang terbuka yang secara aktif menjaga kebhinekaan. Dengan kecenderungan NU yang selalu bersentuhan dengan budaya dan politik. NU tetap tegas jika berhubungan dengan nasib negara dan bangsa. Kelenturannya menjadi penting dikarenakan NU menerapkan prinsip-prinsip sunnah baik di dalam kehidupan bermasyarakat maupun bernegara di negri ini.
Dalam budaya dan politik yang di jalan kan NU, tidak ada istilah menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan (al-ghoyah tubirrir al-washilah), karena politik hanyalah sebagai alat kemaslahatan, bukan semata-mata sebagai tujuan. NU tidak kemana-mana namun NU dimana-mana. Ini terjadi karena kedekatan NU terhadap kelompok-kelompok politik yang ada di negri ini yang penuh variasi.
Dalam hal kepeduliannya terhadap nasib bangsa serta masa depan negri ini, para pemimpin NU tetap eksis dan berperan aktif dan menunjukan ketidak inginannya utk terisolasi dari dinamika politik, juga sepertinya tidak ingin termarginalkan dari hiruk pikuk dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara.
Berdasarkan jumlah anggota yang sampai puluhan juta, dapat dikatakan bahwa NU adalah pemimpin ummat Islam di Indonesia. Sikap politik dan patriotik elit NU telah memiliki rekam jejak yang sudah terbukti sepanjang sejarah negri ini, bahkan sebelum Indonesia merdeka. Kombinasi cair sikap politik dan patriotik NU ini barangkali menjadi tipikal NU, terutama – istilah Syafii Maarif – dalam upaya membingkai peradaban
Pada Muktamar ke-33 NU di Jombang, Jawa Timur, pada tanggal Juli 2015 yang mengusung Islam Nusantara sebagai tema utama yang dapat dibaca sebagai upaya membingkai peradaban. Islam Nusantara dijadikan unggulan sebagai cara para kiai NU untuk turut aktif sebagai bagian dari elemen penentu proses membangun negara dan bangsa dalam konteks modern demi tetap menjaga posisi ortodoksi bukan hanya mendapat tempat yang semestinya, namun juga memiliki peran yang sepatutnya. Peran ini tidak dadakan, tetapi merupakan sejarah panjang, terekam dalam berbagai macam literatur di nusantara.
Dari sebelum Indonesia merdeka, NU sudah berperan besar dalam menyediakan sumber daya manusia dan pemikiran pemikiran besaar bagi negara, disisi lain negara mendapatkan dukungan politik, kultural, dan pemikiran. Sebut saja beberapa lembaga kesehatan yang berbagi peran dengan rumah sakit pemerintah dan lembaga-lembaga pendidikan, dasar hingga perguruan tinggi, memberikan sumbangan yang luar biasa kepada bangsa, baik dari segi jumlahnya maupun dari segi mutunya. Kemerdekaan Indonesia merupakan salah satu buah dan hasil perjuangan NU dan organsiasi lain, dan pada saat Indonesia pasca-merdeka mulai membangun bangsa maka puluhan ribu sekolah/madrasah dan pesantren yang tersebar di berbagai wilayah nusantara menjadi modal yang luar biasa sebagai sumber pembangunan bangsa. NU ikut menanam pohon di taman dalam wadah keindonesiaan dan buah lebat yang muncul darinya tidak saja dinikmati oleh NU tetapi juga oleh seluruh bangsa Indonesia.
NU didirikan di Surabaya tahun 1926 oleh bersama sejumlah tokoh ulama’ tradisional. NU lahir dalam suasana bangsa yang mengalami keterpurukan, baik secara mental maupun ekonom, akibat penjajahan. Keterpurukan yang dialami bangsa Indonesia mengilhami beberapa kaum terpelajar untuk turut memperjuangkan martabat bangsa, diantaranya melalui jalan pendidikan dan organisasi. Seperti gerakan yang muncul pada tahun 1908 melalui Budi Utomo telah menandai adanya kebangkitan bangsa untuk memperjuangkan martabat bangsa. Gerakan yang selanjutnya kita kenal dengan masa “Kebangkitan Nasional”. Pasca Budi Utomo, semangat kebangkitan terus menyebar ke seluruh penjuru Nusantara–setelah rakyat menyadari penderitaan yang dialaminya dari bangsa lain. Sebagai jawaban atas persoalan tersebut, muncullah berbagai organisasi pendidikan dan pembebasan.
Dan NU hadir sebagai kelanjutan dari berbagai organisasi yang terlebih dahulu muncul. Setidaknya terdapat tiga alasan utama NU berdiri. Pertama, alasan lokal, yakni sebagai reaksi defensif terhadap berbagai aktifitas kelompok reformis; Muhammadiyah dan Sarekat Islam. Kedua, NU hadir sebagai upaya memberi wadah bagi umat Islam yang sebagian besar tinggal di pedesaan. Alasan kedua ini menegaskan, bahwa NU lahir sebagai akibat perkembangan politik di kalangan umat Islam yang sangat sedikit memberi ruang artikulasi, bagi warga pesantren dan kalangan muslim tradisional pedesaan dalam urusan politik yang lebih luas.
Ketiga, alasan yang berasal dari dunia Internasional, dimana munculnya gerakan – gerakan modernis di kancah internasional yang dipelopori oleh kelompok Pan-Islami. Setelah keruntuhan Khilafah Turki Uthmani yang kerap memberikan perlindungan dan dukungan kepada ulama’ tradisional, membuat Pan Islami yang memiliki sudut pandang berbeda dari para ulama tradisional, mulai menguasai pemerintahan. Pan-Islami mulai sering memojokkan kelompok-kelompok yang tidak sealiran dengan mereka. Persoalan ini memicu kekhawatiran di kalangan ulama tradisional mengenai adanya upaya peminggiran peran mereka, terutama setelah kelompok modernis memperoleh dukungan dunia internasional.
Ketiga alasan tersebut kemudian menjadi titik awal NU berdiri, dengan terlebih dahulu membentuk Komite Hijazyang diketuai oleh KH. Wahab Hasbullah. Komite Hijaz merupakan organisasi yang bersifat embrional dan ad hoc yang dibentuk untuk mempersiapkan utusan khusus menghadiri Kongres Umat Islam di Mekkah. Namun sebelum komite tersebut berangkat ke Mekkah, setelah berkordinasi dengan berbagai kiai, akhirnya muncul kesepakatan untuk membentuk organisasi yang bernama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) pada 16 Rajab 1344 H. (31 Januari 1926). Organisasi ini dipimpin oleh KH. Hasyim Asy’ari sebagai Rais Akbar. Pada awal perjuangannya, NU menitik beratkan pada pendidikan dan dakwah Islam Ahl al-Sunnah wa al-Jamaah. Hingga tahun tahun 1930-an, NU tetap istiqomah berada di jalur pendidikan dan dakwah.
Pada tahun di atas 1930-an sikap istiqomah NU mulai berubah, utamanya ketika pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan beberapa kebijakan yang bertentangan dengan nilai-nilai NU. Kondisi ini menjadi titik awal tokoh-tokoh NU terlibat dalam urusan negara. Sinyal kedua yang menunjukkan peningkatan minat politik dalam tubuh NU terlihat dalam Muktamar 1938, yaitu dengan adanya usulan agar organisasi tersebut terlibat langsung dalam perwakilan politik dan mencari posisi di Volksraad (dewan rakyat yang memberikan pertimbangan kepada pemerintah kolonial), meskipun usulan tersebut akhirnya ditolak. Keterlibatan NU dalam politik semakin nyata ketika menjelang kemerdekaan yang ditandai dengan munculnya tokoh muda NU, Wahid Hasyim sebagai penggerak dan pelopor kemerdekaan.
Setelah kemerdekaan, NU menjadi partai politik pada tahun 1952, dan pada tahun 1955 dan 1971 ikut ambil bagian menjadi kontestan Pemilu dan memperoleh suara signifikan. Setelah terjadi fusi partai pada tahun 1973 dengan bergabung dengan PPP, NU mengalami berbagai persoalan dan memasuki fase yang cukup sulit. Hingga akhirnya, pada tahun 1984, NU secara resmi keluar dari partai politik dengan menegaskan untuk kembali ke Khittah 1926. Namun demikian, meskipun sudah menyatakan diri keluar dari partai politik, keterlibatan elite NU secara langsung maupun tidak langsung dalam politik pada Pemilu pasca penyataan keluar dari politik praktis tidak dapat dihindari.
Kiprah politik NU dalam kerangka Khitah mengalami goncangan besar karena terjadinya peristiwa politik yang sangat menentukan; berhentinya Soeharto dari jabatan Presiden. Kalangan Nahdliyyin meyakini bahwa kini tibalah saatnya untuk menghentikan pengembaraan politik lewat media Orde Baru yang terkooptasi, dan mulai berpolitik secara sehat dengan menegaskan identitasnya sebagai komunitas NU. Karenanya, warga NU di semua penjuru tanah air merespon peristiwa bersejarah itu dengan mengedepankan usulan agar PBNU menciptakan satu wadah yang berfungsi menyalurkan aspirasi politik kalangan NU. Usulan yang bersumber dari semua elemen NU, mulai mengalir ke Sekretariat Jenderal dan fungsionaris PBNU melalui berbagai sarana komunikasi seperti telepon, telegram, surat dan email. Tak cukup dengan cara ini, belasan ribu orang yang menjenguk Gus Dur yang sedang sakit, secara langsung
mengajukan permintaan agar PBNU mendirikan parpol. Gus Dur menyebut mereka dengan sebutan warga NU yang “seolah-olah sakit kalau tidak berpolitik”, sehingga “perlu dibuatkan wadah agar tidak gentayangan, tidak jelas”. Sebagai tindak lanjut atas desakan agar PBNU menfasilitasi pendirian partai, maka tangal 3 Juni 1998 PBNU membentuk tim lima yang ditugasi untuk memenuhi aspirasi warga NU. Selanjutnya pada tanggal 20 Juni 1998, PBNU menyusun tim asistensi untuk membantu tugas tim lima.
Setelah melalui diskusi dan pertemuan, maka pada tanggal 23 Juli 2008 bertempat di rumah Gus Dur, sejarah politik Indonesia moderen menyaksikan kelahiran partai politik dari “rahim NU” yang bernama Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Setahun berikutnya, pada Pemilu 1999 untuk pertama kalinya PKB yang proses pendiriannya difasilitasi oleh PBNU mengikuti Pemilu, dan secara nasional memperoleh suara yang cukup besar. Demikian pula pada tahun 2004, PKB kembali memperoleh suara yang cukup besar, meskipun sedikit mengalami penurunan jumlah pemilih.
Sejarah perpolitikan NU dan partai politik yang memiliki hubungan sejarah dengan NU tidak dapat dilepaskan dari peran kiai dan tokoh-tokoh yang memiliki hubungan dekat dengan pesantren. Kiai merupakan tokoh yang selalu identik dengan NU, karena NU lahir melalui proses yang melibatkan kiai. Sementara pondok pesantren di mana kiai menjadi pemimpin di dalamnya,23menjadi tempat kaderisasi bagi tokoh-tokoh yang kelak kemudian menjadi pengurus NU, terutama yang berhubungan dengan ajaran keagamaan yang dikembangkan oleh NU. Dari sisi inilah, posisi kiai merupakan entitas sangat penting dalam perjalanan NU, terutama soal keterlibatan dalam politik.
Kiai dalam tradisi politik NU dikelompokkan sebagai kaum elite. Dalam sejarah perpolitikan NU, kiai tidak sekedar sebagai pengumpul massa (vote getter) yang cukup ampuh, tetapi ada juga yang menjadi pengurus dan anggota partai, calon legislatif, anggota legislatif bahkan pemimpin eksekutif. Keterlibatan kiai NU dalam politik sudah berlangsung sejak masih bergabung dengan Masyumi, berpisah dengan Masyumi dan terlibat dalam Pemilu 1955, Pemilu 1971 dan hingga sekarang. Bersamaan dengan itu, elite NU yang lain seperti putera-puteri kiai, menantu kiai, alumni pondok pesantren (santri) atau mereka yang memiliki hubungan ideologis dan kesejarahan dengan NU ikut mewarnai proses perpolitikan NU.
Sejarah perjalanan politik NU tidak dapat dipisahkan dengan keadaan elite NU Jawa Timur, karena di propinsi ini, NU lahir dan berkembang dengan sangat pesat. Propinsi Jawa Timur merupakan kawasan dengan jumlah pesantren terbesar dan terbanyak di Indonesia. Dari propinsi ini, lahir dan tumbuh tokoh-tokoh yang kelak menjadi pemimpin NU maupun pemimpin nasional. Di samping itu, dalam sejarah perpolitikan NU, perolehan suara pemilih partai NU atau partai politik yang berbasis NU di Jawa Timur pada Pemilu 1955, 1971, 1999 dan 2004 cukup besar dibandingkan dengan propinsi lain di Indonesia. Karena persoalan itulah membawa dampak bagi peran elite NU yang berasal dari Jawa Timur sangat menonjol dibandingkan dengan elite NU yang lain, setidaknya dari sisi kuantitas. Dari aspek inilah, persoalan dinamika partisipasi elite NU Jawa Timur dianggap memiliki daya tarik tersendiri. Jawa Timur merupakan propinsi yang dari sisi wilayah tidak terlalu besar, tetapi jumlah penduduknya terbesar se Indonesia. Berdasarkan bahasa, terdapat dua budaya besar yang mendiami propinsi tersebut, yaitu Jawa dan Madura. Tetapi dari sisi budaya Jawa Timur dibagi ke beberapa subkultur, di mana masing-masing subkultur berbeda dengan kawasan lain. Subkultur tersebut adalah Mataraman, Ponoragan, Samin, Tengger, Pesisir, Arek, Madura Pulau, Pendalungan, dan Osing. Kesepuluh subkultur tersebut memiliki ciri dan karakteristik berbeda meskipun dari sisi bahasa memiliki beberapa kesamaan sejarah. Secara umum, bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa dan Madura.
Ragam budaya yang berkembang di Jawa Timur ini sangat terkait dengan model dan karakteristik para elite NU yang mendiami kawasan tersebut. Elite NU tidak saja berkonsentrasi pada satu kawasan budaya, melainkan menyebar ke berbagai kawasan di Jawa Timur. Mengikuti jalan pikiran Gabriel A. Almond dan Sydney Verba bahwa budaya yang berkembang dalam satu daerah sangat memungkinkan memiliki kaitan dengan cara pandang masyarakat terhadap politik, demokrasi bahkan figur tokoh politik. Pandangan Almond dan Verba akan sampai kepada apa yang disebut dengan budaya politik, yakni orientasi psikologis terhadap objek sosial, dalam hal ini sistem politik. Sikap positif dan negatif seseorang terhadap sistem politik tergantung dari corak orientasi budaya politik yang dimilikinya. Perkembangan budaya politik suatu masyarakat terjadi karena akibat kompleksitas nilai yang ada dalam masyarakat itu sendiri.
Dengan demikian, kehidupan masyarakat dipenuhi oleh interaksi antar orientasi dan antar nilai yang memungkinkan timbulnya kontak-kontak di antara budaya politik suatu kelompok atau golongan yang mungkin lebih tepat disebut “subkultur politik”, yang merupakan proses terjadinya pengembangan budaya bangsa. Berdasar pandangan di atas, beberapa persoalan yang akan dipecahkan terkait dengan hubungan subkultur dan partisipasi politik; benarkah budaya politik elite NU terjadi karena adanya perbedaan geokultur dan geopolitik
Bagaimana interaksi budaya lokal dengan realitas politik terjadi, dan memberikan implikasi terhadap partisipasi politik elite NU? Seperti apa perbedaan-perbedaan budaya politik elite NU di masing-masing subkultur, dan seperti apa pula pola hubungan elite NU dalam memperebutkan ruang politik. Meskipun di Jawa Timur terdapat sepuluh subkultur, namun hanya dibatasi pada lima subkultur yang menjadi titik perhatian penelitian ini. Subkultur tersebut adalah Mataraman, Pesisir, Arek, Madura Pulau dan Pendalungan. Pemilihan terhadap kelima subkultur tersebut didasari atas pertimbangan karena konsentrasi elite NU berada di lima kawasan tersebut.
Nahdlatul Ulama’ adalah gejala yang unik, bukan hanya di Indonesia tapi juga di seluruh dunia muslim. NU adalah organisasi ulama’ tradisionalis yang jumlah anggotanya besar, organisasi non-pemerintah paling besar yang masih bertahan dan mengakar di kalangan bawah. NU mewakili paling tidak 40 juta muslim yang meski tidak selalu terdaftar sebagai anggota resmi—tetapi merasa terikat kepadanya melalui ikatan-ikatan kesetiaan primordial.
Di sebuah negeri yang dilanda kecenderungan kuat ke arah pemusatan (sentralisasi), NU merupakan organisasi paling signifikan yang tidak tersentralisasi. Para pengkritiknya mengkaitkan desentralisasi yang luar biasa ini dengan ketidakefektifan pengurus pusatnya, sementara warga NU sendiri lebih suka menghubungkannya dengan rasa kemandirian sangat tinggi yang dimiliki para kiai lokal yang menjadi penyangga moral NU.
Sejalan dengan tradisi politik sunni, NU dalam perjalanan sejarahnya di masa lalu biasanya bersikap akomodatif terhadap pemerintah, dan pemimpinnya sering dituduh sebagai orang-orang oportunis. Namun selama tahun 1970-an, ketika kebijakan Orde Baru secara bertahap berjalan menurut arahnya sendiri, NU menjelma menjadi pengkritik yang terus terang dan konsisten terhadap kebijakan tersebut. Suara-suara protes terhadap ketetapan pemerintah yang tidak populer sering terdengar di DPR. (Pengkritik yang lebih radikal tentu saja tidak dapat ambil bagian dalam politik parlemen sejak tahap awal).
Dua kali utusan NU melanggar politik konstitusional yang dijunjung tinggi dengan melakukan walk-out dari DPR. Tindakan tersebut tidak hanya dalam bentuk protes terhadap undang-undang yang sedang disidangkan pada saat itu (salah satu berkaitan dengan indoktrinasi ideologi resmi, Pancasila) tetapi juga menentang landasan pokok politik Orde Baru.
Penolakan NU inilah yang mendorong pemerintah pada awal 1980-an menuntut adanya kesepakatan ideologis yang lebih jauh lagi dan mewajibkan semua organisasi kemasyarakatan dan partai politik menerima Pancasila sebagai asas tunggal. Kali ini berlawanan dengan yang diduga orang, NU menuruti tuntutan tersebut, bahkan melakukannya mendahului semua organisasi besar lainnya.
Begitu pula masalah kembali ke Khittah 1926. Dapat dimengerti bahwa kasus-kasus seperti ditulis di atas tidak mendapat dukungan secara bulat dan merupakan bagian dari dinamika perjalanan NU. Mereka banyak mendapat kritik, baik dari kalangan orang dalam maupun luar organisasi. NU sudah terlibat dalam politik praktis sejak kemerdekaan dan telah banyak melahirkan politisi profesional. Banyak kalangan yang keberatan dengan alasan bahwa perubahan ini akan merugikan kepentingan politik umat Islam, di samping banyak kiai sudah sangat tergantung kepada patronase yang diperoleh melalui jalur politik.
Namun perubahan tiba-tiba sikap akomodatif dan penurut kepada pemerintah ini mungkin mengejutkan, berjalan dengan penolakan yang jauh lebih kecil di dalam tubuh NU. Banyak kalangan NU tidak suka apabila konfrontasi dengan pemerintah. Para pengusaha yang berfiliasi dengan NU dan para kiai segera menemukan betapa kehidupan menjadi lebih baik dan mudah ketika para penguasa sipil dan militer tidak lagi mencurigai organisasi mereka. Perubahan sikap tersebut sempat menimbulkan rasa tidak percaya di kalangan orang luar, tetapi tidak berlangsung lama, karena organisasi lain akhirnya mengikuti juga.
Hubungan NU dan politik dalam sejarah bangsa ibarat setali tiga uang, di mana ada urusan politik di sana ada NU. Terdapat tiga komponen penting yang tidak dipisahkan dalam bingkai NU yakni kiai, pesantren dan partai politik. Dalam membicarakan tentang perilaku politik NU, ketiga komponen tersebut sangat menentukan gerak langkah dan perilaku NU. Penelitian tentang NU biasanya sekaligus mengkaji tentang pesantren dan kiai.
Pesantren adalah institusi di mana NU lahir, tumbuh, berkembang dan tradisi-tradisi NU dipelajari dan diawetkan. Sementara aktor yang berada di balik NU dan pesantren adalah kiai. Karenanya hampir semua kajian-kajian tentang NU selalu mengikutsertakan kajian tentang pesantren dan kiai. Setiap kajian tentang NU dan Islam tradisional di Indonesia, terutama di Jawa, harus mempertimbangkan peran pesantren dan kiai yang memimpinnya.
Artinya, bahwa kajian tersebut tidak bisa komprehensif tanpa melibatkan peran pesantren dan kiai sebagai subjek meteriil penelitian. Pesantren adalah lembaga keagamaan yang memberikan pendidikan dan pengajaran serta mengembangkan dan menyebarkan agama Islam. Pondok pesantren yang berasal dari kata pondok dan pesantren lebih mirip dengan pemondokan dalam lingkungan padepokan, yaitu perumahan sederhana yang dipetak-petak dalam bentuk kamar yang merupakan asrama bagi santri.
Dalam sistem pesantren terdapat tiga unsur yang saling terkait;pertama adalah kiai, faktor utama yang olehnya sistem pesantren dibangun. Kedua, adalah santri, yakni para murid yang belajar pengetahuan ke-Islaman dari kiai. Unsur kedua ini juga sangat penting, karena tanpa santri kiai seperti raja tanpa rakyat. Santri adalah sumber daya manusia yang tidak saja mendukung keberadaan pesantren, tetapi juga menopang pengaruh kiai di masyarakat. Sedangkan unsur ketiga, adalah pondok, sebuah sistem asrama yang disediakan kiai untuk para muridnya.
Dengan demikian pesantren merupakan kompleks perumahan yang meliputi rumah kiai dan keluarganya, beberapa pondok, ruang belajar dan termasuk Masjid. Tokoh sentral di sebuah pesantren adalah kiai. Perannya bersisi banyak. Ia adalah cendekiawan, guru sekaligus pembimbing spiritual. Seringkali dia bertindak sebagai penjaga iman, penghibur dan sekaligus pendekar. Menurut teori, otoritas kiai diperoleh terutama dari pengetahuan agamanya dalam bidang fikih, tauhid dan bahasa Arab.
Dalam pesantren otoritas kiai bersifat mutlak. Tunduk pada perintah kiai merupakan kewajiban utama dalam budaya pesantren. Hal ini diperkuat dengan kepercayaan bahwa sang kiai sebagai orang suci, dapat memberikan berkah bagi pengikutnya. Dalam hubungan sosial NU, kiai adalah lambang tertinggi. Dalam tradisi NU tidak ada institusi yang melampaui otoritas kiai meskipun secara struktural berada di luar jalur formal.
Syuriah sebagai lembaga pemegang otoritas hukum dan moral dalam struktur NU pada umumnya dipimpim oleh kiai atau mereka yang memiliki level akademik dan moral setingkat kiai. Kiai NU pada umumnya adalah pimpinan pondok pesantren, sebuah lembaga pendidikan yang identik dengan basis massa NU. Ketaatan total pada kiai merupakan tradisi yang terus dijaga dalam pesantren karena cerminan sikap santri. Dalam kitab-kitab tasawwuf yang dipelajari di pesantren, kiai diposisikan sebagai mursyid dalam insitusi tarekat yang harus dipatuhi dan dijunjung tinggi oleh setiap murid.
Pelanggaran terhadap perintah kiai merupakan bagian dari dosa yang berakibat padatidak manfaatnya dan/atau lepasnya ilmu yang sudah dimiliki. Kajian tentang NU, sebagaimana diakui Gus Dur baru semarak belakangan ini, khususnya setelah NU kembali keKhittah 1926 tahun 1984. Sebelumnya NU hampir luput dari amatan akademisi baik dalam dan luar negeri, termasuk Clifford Geertz yang melakukan penelitian di Jawa sekitar 1950-1960-an hanya sedikit menyebut tentang NU. Demikian pula para ilmuwan Indonesia pada periode awal masih sedikit yang menyebut NU, sebagaimana Deliar Noer yang menyebut NU sebagai penghambat pembaharuan.
Kajian tentang NU pada umumnya dibagi ke dalam empat fase; fase pertama, dimulai masa pendirian (yang dimulai dari komite Hijaz) sampai dengan keputusan NU untuk terlibat dalam politik praktis tahun 1955. Pada fase ini banyak dibahas bagaimana keterlibatan NU dalam pendirian NKRI dan falsafah Pancasila. Fasekedua, adalah fase 1955-1971 yakni keterlibatan NU dalam percaturan politik nasional baik di tingkat eksekutif, legislatif dan yudikatif. Fase ketiga, adalah masa fusi partai. Pada fase ini NU melebur dengan PPP sebagai kontestan Pemilu. Fase keempat,di atas tahun 1984 setelah NU menyatakan keluar dari partai politik (PPP) dan menfokuskan pada perjuangan model awal pendiriannya yakni bidang sosial, pendidikan dan dakwah.
Pada fase-fase terakhir, khususnya setelah Orde Reformasi tahun 1998 masih sedikit para peneliti mengkaji NU secara menyeluruh khususnya setelah kelahiran PKB yang didirikan oleh tokoh-tokoh NU. Penelitian tentang NU khususnya pada fase ketiga lebih banyak difokuskan pada hubungan NU dengan negara, sikap politik NU, dan sikap Gus Dur sebagai icon dalam tubuh NU yang telah banyak memberikan pencerahan politik khususnya dalam memperkuat civil society dalam tubuh jam’iyyahdan jamaah NU. Beberapa ciri khas politik NU yakni dengan menggunakan pendekatan fikih dan ushul fikih dalam merespon dan menyikapi persoalann politik didasarkan pada pertimbangan kemaslahatan (al-maslahah).
Penerimaan NU terhadap NKRI dan Pancasila sebagai asas tunggal didasarkan pada kaidah, “mendahulukan menghindari bahaya daripada melaksanakan kemaslahatan yang mengandung resiko besar”, “memilih resiko yang lebih kecil adalah lebih baik daripada membuat keputusan besar dengan resiko besar”. Tertib sosial-negara merupakan tujuan akhir NU. Sementara Martin van Bruinessen dalam “Traditionalist Muslims in modernizing world;The Nahdlatul Ulama’ and Indonesia’s New Order politics, fictional conflict and the search for new discourse” tahun 1994 mendapatkan tentang beberapa pola hubungan NU dengan negara sejak kemerdekaan sampai muktamar 1989.
Selain itu sikap tradisional NU dalam membangun hubungan dengan negara tidak ajek(selalu berubah-rubah). Sikap NU kadang aposisional, akomodatif, kooperatif dan kadang (agak) oportunis. Sebagai organisasi formal, PBNU tidak bisa memaksakan keputusaannya karena kuatnya pengaruh kiai di tingkat lokal. Pada tingkat pemikiran keagamaan, NU jauh lebih moderat dan progessif dibanding dengan Ormas yang mengklaim dirinya sebagai kelompok moderen.
Martin van Bruinessen menyatakan tentang hubungan NU dan pemerintah setelah kembali ke jalur dakwah dan pendidikan bahwa hubungan Ulama’-Umara khususnya NU mengalami dilema, satu sisi harus menghadapi kemiskinan, korupsi, namun di sisi lain mereka tidak mampu berbuat. Maka muncul sikap kritis melalui lembaga-lembaga non struktural yang merupakan sikap politik sunni. NU memiliki peranan penting dalam mengintegrasikan Islam ke dalam Negara khususnya sebagai reaksi atas dominasi “reformis” dalam politik nasional. Sikap NU terhadap Negara menggunakan jalan tengah sesuai dengan tradisi sunni, menerima Pancasila untuk kemaslahatan ummat. NU tidak menginginkan Negara syariah tapi santri berintegrasi dengan Negara. Sikap politik NU berubah-ubah, kooperatif, akomodatif dan kadang bersikap oposan. Semua ini dipengaruhi oleh tradisi sunni dan sikap tegas terhadap Negara. Setelah kembali ke Khittah 1926, secara formal tidak memiliki ikatan dengan partai politik manapun. Munculnya khittah 1926 berakibat pada pergeseran otoritas dari Shuriah ke Tanfidiyah.
Peran Tanfidiyah lebih dominan dalam mengambil keputusan dibandingkan dengan syuriah, sementara secara struktural syuriah berada di atas tanfidiyah. Sikap NU suatu waktu bisa berubah karena NU tidak memiliki konsep yang jelas tentang aktivitasnya, disamping tingginya dinamika internal pengurusnya. Secara institusi NU masih dikategorikan sebagai lembaga tradisional karena lemahnya dalam membangun organisasi yang benar-benar menggunakan manajemen yang baik. Secara personal tokoh-tokoh NU yang bergerak dalam dunia pemikiran dikategorikan sebagai tipologi neo-modernis, karena sikap keterbukaan (open mind), toleran, pluralis, agak sosialis.
Secara garis besar kita dapat membagi masyarakat Jawa ke dalam tiga varian, yaitu; abangan, santri dan priyayi. Santri dalam masyarakat Jawa adalah masyarakat yang secara konsisten dan teratur melaksanakan pokok-pokok peribadatan yang telah di atur dalam agama Islam, misalnya melaksanakan shalat lima waktu, puasa di bulan romadhan atau puasa lain yang dianjurkan dalam Islam, mengeluarkan zakat, menunaikan ibadah haji serta melaksanakan perintah-perintah lain dalam Islam.
Santri sekaligus mempertegas perbedaan dengan kaum abangan yang menekankan pada elemen Jawa, atau priyayi yang menekankan pada aspek Hindu-Budha. Selain itu yang disebut santri biasanya adalah golongan masyarakat Jawa Islam yang patuh, taat menjalankan ajaran agama Islam, dan sebaliknya meninggalkan perbuatan tidak ada dasarnya atau yang dilarang dalam agama Islam. Sedangkan kriteria berikutnya adalah Kejawen, yaitu golongan Islam-Jawa yang tidak menunaikan ibadah shalat, puasa serta tidak bercita-cita melaksanakan ibadah haji. Disamping itu, golongan ini termasuk masih kuat mempertahankan kepercayaan terhadap kekuatan yang melebihi segala kekuatan yang ada, seperti kesaktian, arwah dan roh leluhur, serta makhluk-makhluk halus seperti memedi, lelembut, tuyul, demit dan jin yang bersemayan di sekitar tempat tinggal manusia.
Namun demikian, Kejawen masih percaya kepada ajaran keimanan ajaran Islam. Elite santri Jawa pada masa kolonial, terbagai menjadi dua kelompok, yaitu;pertama, para pegawai yang pada umumnya menjabat sebagai penghulu, bertugas mengurusi Masjid di kota-kota besar dan menjabat sebagai anggota pengadilan agama, serta merangkap sebagai penasehat agama pada pengadilan umum. Dalam hal ini, masyarakat umum biasanya memberikan sebutan dengan Kiai Pengulon. Adapun struktur pegawai agama bersifat hirarkis karena diangkat dengan surat keputusan Gubernur Jenderal atas usulan Bupati dan Residen, sedangkan gajinya berasal dari pemerintah, karenanya disebut pegawai pemerintah Belanda. Kedua, para guru agama yang tidak menjadi pegawai pemerintah, dan tidak mendapat gaji pemerintah.
Tentang kehidupan kiai ini diperjelas oleh Kuntowijoyo, dalam mengkaji kiai Madura dimana mereka hidup dari kekayaannya sendiri atau kalau tidak ia akan hidup melalui pemberian dari umatnya. Kiai jenis ini cenderung lebih bebas dan memiliki popularitas yang lebih luas. Masyarakat pada zamannya menyebut dengan istilah kiai perdikan atau kiai pesantren.
Disebut kiai perdikan karena kiai seperti ini membawahi satu daerah perdikan. Kata Perdikan berasal dari kata Mahardika yang artinya bebas atau merdeka, yakni bebas dari pembayaran pajak, kerja bhakti atau gugur gunung untuk kerajaan, serta kewajiban lainnya. Penguasa perdikan adalah seorang kiai yang biasanya juga seorang tokoh kanuraganyang cukup piawai dalam ngolah rogo lan roso. Umumnya, di daerah perdikan ini oleh kiai didirikan pesantren. Sebagai contoh adalah pesantren Kiai Kasan Besari di daerah perdikan Tegalsari Ponorogo yang melahirkan pujangga besar kraton yakni Raden Bagus Burhan atau dikenal Ronggowarsito. Kiai merupakan istilah yang ada dalam tradisi Jawa. Di dunia Islam, sebutan bagi seorang yang memiliki kemampuan dan kedalaman ilmu agama disebut ulama.
Di Mesir dan di beberapa negara muslim di Timur Tengah, sebutan ulama menjadi sebutan umum bagi individu yang memiliki kemampuan di bidang ilmu agama dan mampu menjalankan syariat dengan baik. Sementara di Jawa, sebutan kiai lebih menonjol dibandingkan dengan sebutan ulama’. Studi tentang elite NU diawali dengan peran dan keterlibatan kiai (ulama’) yang berada di balik kelahiran NU pertama kali di Surabaya, tahun 1926. Tokoh-tokoh yang berperan penting dalam pembentukan NU adalah para kiai atau pimpinan pondok pesantren yang memiliki pengaruh luas di masyarakat. Mereka adalah KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahab, KH. Mas Mansyur dan beberapa teman Kiai Wahab dari kalangan pedagang. Kiai merupakan tokoh yang banyak mengisi kepengurusan NU, meskipun unsur non kiai juga masuk di dalamnya. Pada Muktamar pertama di Surabaya tahun 1926, susunan kepengurusan PBNU terdiri dari unsur kiai dan bukan kiai, meskipun unsur kiai lebih dominan.
Unsur kiai banyak menduduki posisi Syuriah dan sebagian di Tanfidiyah, sementara unsur non kiai banyak berada di posisi Tanfidiyah. Hingga Muktamar ke 31, posisi dan peran kiai tetap dominan sebagai akar sosial NU. Sebutan ulama’ atau kiai dalam NU adalah sesuatu yang sangat penting. Gelar kiai atau ulama’ bukan sesuatu yang dapat dipergunakan secara sembarangan. NU memberikan kriteria keulamaan seseorang sebagai berikut;
Pertama, norma pokok adalah ketaqwaannya kepada Allah Swt. Kedua, fungsi utama, mewarisi (risalah) Rasulullah, baik bidang ucapan,ilmu dan ajarannya;mewarisi perbuatan dan tingkah lakunya;mewarisi mental dan akhlaknya. Ketiga,ciri-ciri ulama adalah;tekun beribadah, baik yang wajib atau sunnah. Zuhud, melepaskan diri dari ukuran dan kepentingan materi/duniawi. Memiliki ilmu akhirat,atau ilmu agama Islam dalam kadar yang cukup, mengerti kemaslahatan masyarakat, peka terhadap kepentingan umum, mengabdikan seluruh hidupnya untuk Allah Swt, dengan niat yang benar dalam ilmu dan amal. Sebagai organisasi, NU memiliki dua wajah, yaitu wajah jam’iyyah dan jama’ah. NU jam’iyyah merupakan organisasi formal struktural yang mengikuti mekanisme organisasi moderen seperti memiliki pengurus, pengesahan pengurus, pemilihan pengurus, anggota, iuran, rapat-rapat resmi dan keputusan-keputusan resmi.
Sedangkan NU jama’ah adalah kelompok idelogis kultural yang mempunyai pandangan, wawasan keagamaan dan budaya ala NU. Meskipun secara resmi tidak memiliki anggota NU, mereka tidak mau dikatakan bukan NU. Mereka tersebar dalam berbagai kelompok kegiatan seperti jamaah yasinan, tahlilan, wali murid madrasah NU dan jamaah Mushalla. Sementara menurut Idham Chalid, terdapat tiga tingkatan anggota NU. Tingkat pertama golongan muqarrabu terdiri atas ulama’ yang salih, para sufi dan imam tarekat. Sebagian pengurus Syuriah NU, menurut Idham termasuk golongan ini.
Tingkatan kedua golongan abrar, yaitu anggota NU yang taat menjalankan agama, mengerti tentang Islam dan perjuangan Islam. Tingkat ketiga adalah golongan ’abidun, anggota NU yang taat menjalankan ibadah tetapi tidak mengerti perjuangan Islam secara baik. Golongan yang terakhir ini terbagi ke dalam berbagai tingkatan, yang terakhir disebut golongan nunut urip, hanya mengikuti atau mengaku Islam tetapi tidak menjalankan ibadah dan umumnya mereka dipengaruhi oleh kharisma kiai. Gambaran tentang keanggotaan dan dinamika jamaah NU melahirkan berbagai kelas anggota, yang salah satunya dikenal dengan sebut anggota ”elite”. Tokoh-tokoh pesantren yang berada di balik pendirian NU yang kemudian disebut dengan kaum elite NU. Martin van Bruinessen mengidentifikasi elite NU adalah terdiri keluarga kiai yang mengendalikan pesantren besar dan terkait satu sama lain melalui ikatan perkawinan, dan hubungan guru-murid. Kiai merupakan kelompok elite utama dalam NU. Dalam sejarah, kiai bukan sekedar pimpinan pondok pesantren, melainkan juga sebagai pengurus atau penyokong utama NU. Dalam studi yang dilakukan oleh Martin, kiai-kiai yang berasal dari pesantren Jombang dikelompokkan sebagai elite utama NU.
Dari kelompok elite ini, tiga dari empat pesantren besar yang ada di Jawa Timur—memegang posisi dominan dalam hierarki NU, yang menyediakan tiga Rais ’Am pertama. Pesantren Tebuireng yang didirikan oleh Kiai Hasyim menduduki peringkat tertinggi. Pada posisi berikutnya adalah pesantren Tambak Beras yang dipimpin oleh Kiai Wahab, dan berikutnya adalah Kiai Bisri Syamsuri yang memimpin pesantren Denanyar. Selain tiga pesantren tersebut, yang termasuk dalam katagori elite pesantren yang memegang kekuasaan di NU adalah pesantren Lirboyo Kediri, Pesantren Lasem dan Rembang di Jawa Tengah dan pesantren Buntet Cirebon. Selain itu, terdapat KH. Kholil Bangkalan yang memiliki pengaruh luas di NU. Sebelum mendirikan NU, Kiai Hasyim terlebih dahulu kedatangan Kiai As’ad Syamsul Arifin sebagai murid KH. Kholil.
Kedatangan tersebut terkait dengan pesan simbolik bahwa Kiai Kholil menyetujui pendirian NU. Selain Kiai As’ad, juga Kiai Wahab Chasbullah, Kiai Bisri Syansuri, Kiai Bisri Mustofa, Kiai Maksum, Kiai Muhammad Shiddiq dan KH. Munawir yang kelak menjadi tokoh-tokoh NU adalah murid Kiai Kholil Bangkalan. NU tidak akan pernah lahir, kecuali pendiri NU khususnya Kiai Hasyim memperoleh restu dari Kiai Kholil Bangkalan. Kondisi kekiaian tersebut oleh Laode Ida disebut dengan ”stratifikasi kiai”, yaitu stratifikasi berdasarkan posisi genealogis dan teritori. Poin penting dalam hal ini ialah bahwa kiai-kiai NU di Indonesia berinduk pada satu guru yang sama, yakni mereka yang mendirikan dan mengembangkan NU.
Selain itu terdapat tiga stratifikasi kiai NU. Pertama, kiai aristokrat atau biasa disebut dengan kiai darah biru, yakni kiai yang berasal dari keluarga pendiri NU yang umumnya berada di Jawa Timur. Mereka ini termasuk keluarganya, di lingkungan keluarga NU umumnya menempati posisi tertinggi dan seolah bersifat permanen. Kedua, para kiai yang kecuali belajar pada keluarga pesantren darah biru NU juga belajar pada pesantren-pesantren lain sehingga memiliki ilmu yang bervariasi dan memiliki kelebihan tersendiri yang tidak dimiliki oleh kiai lainnya. Ketenaran kiai seperti ini selalu menjadi rujukan baik oleh kalangan NU maupun masyarakat luas. Ketiga, kiai biasa, yaitu kiai yang belajar pada pesantren NU tertentu dan kemudian mengembangkan pesantren sendiri dan atau mengajar pada pesantren tertentu, mereka semata-mata mengembangkan pendidikan pesantren dengan ajaran-ajaran yang sudah digariskan oleh NU. Kondisi kekiaian yang hierarkis tersebut, juga menentukan terhadap kharisma kiai di hadapan masyarakat.
Kharisma kiai NU tergantung pada ayah dan para pendahulunya yang lain, dan kemudian dipengaruhi kharisma gurunya. Kiai yang sangat terkemuka biasanya memiliki paling tidak tiga atau empat ulama’ terkenal dalam silsilah keluarganya, dan beberapa mengakui mempunyai silsilah yang jauh lebih panjang lagi. Lebih dari itu, sebagian keluarga ulama’ yang lebih terkemuka mengaku sebagai keturunan dari kalangan bangsawan kerajaan Islam. Elite NU Level kedua adalah keluarga kiai, utamanya anak laki-laki yang di Jawa dikenal dengan sebutan Gus. Seorang kiai selalu mengharapkan bahwa Gus-gus itulah yang akan menggantikan posisinya setelah meninggal kelak. Karena ekpektasi tersebut, tidak sedikit para Gus yang mengenyam pendidikan yang cukup baik, baik di dalam maupun di luar negeri utamanya di Timur Tengah seperti Madinah, Mesir, Yaman dan Riyadh. Di kalangan NU, posisi Gus yang masih muda banyak mendominasi posisi di Badan Otonom (Banom) atau Lembaga di bawah NU, seperti IPNU, Ansor, Lakpesdam, atau bagian media.
Pada saatnya ketika proses pendidikan di Banom dianggap matang, mereka dengan sendirinya dipromosikan sebagai pengurus harian, baik Syuriah maupun Tanfidiyah. Model kaderisasi elite NU yang berasal dari keluarga satu darah masih sangat kuat. Salah satu contoh keluarga Kiai Hasyim Asy’ari (meninggal tahun 1947) yang hingga kini masih mendominasi kepengurusan NU. Di samping itu, karena secara alamiah tidak semua kiai memiliki keturunan laki-laki, maka mereka mengangkat salah satu santri terbaiknya sebagai menantu. Ia biasanya seorang santri yang cerdas yang sengaja dikawinkan dengan puteri kiai untuk melanjutkan aktifitas pesantren yang dipimpinnya. Tujuan utamanya adalah untuk memelihara kelangsungan hidup pesantren. Namun tidak sedikit menantu yang diambil adalah juga keturunan kiai yang juga sama-sama memiliki pesantren. Dengan cara ini kemudian terbentuk keluarga besar kiai dengan ikatan kekerabatan yang sangat kuat.
Munculnya elite NU yang berasal dari keluarga non kiai atau kiai yang (kurang) berpengaruh, memunculkan kelompok kiai ”superior” dan ”inferior”. Lapisan elite NU ketiga adalah santri atau jaringan alumni pesantren besar. Santri dan alumni kemudian mendirikan pesantren, menjadi tokoh masyarakat atau pimpinan politik lokal. Meskipun sebagai elite lokal, tetapi tidak bisa dengan leluasa mengembangkan pikiran-pikiranya, karena masih terikat oleh sistem kealumnian pesantren. Sistem kealumnian begitu rapi dan kuat, sehinga kiai masih dengan mudah mengontrol aktivitas alumni, utamanya yang berhubungan dengan urusan politik. Kekuasaan elite NU seperti ini dikendalikan terutama melalui hubungan keluarga dan jaringan patronase.
Beberapa pesantren di Jawa, kiai senior menempatkan anggota keluarga atau pengikut yang dipercaya di jabatan yang berpengaruh dalam NU, dan dari situ orang-orang yang ditempatkan tersebut dapat mengembangkan kariernya sekaligus menjalankan kepentingan kiai dan pesantrennya. Tanpa dukungan kiai yang berpengaruh, kemajuan karir seorang muslim awam sulit dicapai. Sebagian besar posisi kunci non-ulama’ di NU, baik di tingkat lokal maupun nasional selalu dilindungi (dibecking) setidaknya oleh seorang kiai senior. Dalam keadaan seperti itu umumnya terjadi tawar menawar yang tidak terucap antara ”patron” dan ”client” yang menjamin keuntungan bagi keduanya. Sang kiai mengandalkan kliennya untuk menyuarakan pandangan dan kepentingannya, sedangkan sang klien tergantung pada kiai dalam hal otoritas serta keamanan karirnya
Dengan demikian, hubungan struktur kekuasaan dalam tubuh NU bersifat vertikal dan didasarkan pada hubungan kekeluargaan atau hubungan pasangan santri-kiai. Di samping kiai dan orang pesantren, elite NU juga terdiri dari anggota masyarakat yang secara sosial ekonomi dan intelektual memiliki keunggulan dibandingkan dengan masyarakat umum. Mereka kemudian mengabdikan diri menjadi pengurus baik di pengurus harian maupun lembaga di berbagai tingkatan.
Elite NU di bagian Tanfidiyah biasanya diisi oleh kelompok elite ini. Misalnya, kepengurusan PBNU tahun 1926 yang diketuai oleh H. Hasan Gipo adalah salah satu contoh keterlibatan elite non kiai dan pesantren dalam kepengurusan NU. Dari tujuh belas pengurus harian PBNU tahun 1926, hanya satu orang yang berasal dari kalangan kiai, atau memiliki pesantren. Demikian pula masuknya kalangan intelektual perguruan tinggi, birokrat dan profesional dalam jajaran pengurus Tanfidiyah yang ikut memberi warna dalam kepengurusan NU. Mereka disebut kaum elite karena kekuasaan intelektual, birokrasi dan kemampuan dalam memberikan pengaruh di masyarakat. Otonomi elite NU Kiai dan pesantren merupakan institusi yang sangat kuat, karena jatuh bangunnya kelembagaan pesantren tidak ditentukan oleh pihak lain utamanya bantuan pemerintah.
Pesantren, dimana kiai berada di dalamnya, dibangun atas swadaya masyarakat dan uang saku pribadi kiai. Karena persoalan itulah, pesantren tidak mengenal istilah dampak inflasi tinggi, tight money policy (kebijakan uang ketat), krisis moneter dan segala persoalan ekonomi yang membelit di luar pesantren. Keterlibatan masyarakat dalam pengembangan pesantren dimulai dari proses awal kiai mengembangkan dan memberdayakan masyarakat sekitar melalui titah amar ma’ruf nahial-munkar (mengajak kebaikan mengindari kemungkaran). Kiai yang berada di tengah-tengah masyarakat sebagian berasal dari daerah setempat dan sebagian lain adalah para perantau dari tempat lain yang bertujuan untuk menyiarkan ajaran Islam. Dalam beberapa studi tentang pesantren, bukan aspek mental keagamaan yang menjadi perhatian kiai, melainkan juga aspek ekonomi, pemberdayaan masyarakat dan kesenian Islam.
Dari proses ini lambat laun trust(kepercayaan) muncul dari masyarakat, dan pada akhirnya masyarakat mempercayakan kepada kiai agar putera-puterinya diberikan pendidikan dan pengajaran dimana kiai berada. Karena keterbatasan tempat, kiai kemudian mendirikan gubuk atau pondok sederhana di sekitar rumah kiai, dan akhirnya terbentuklah apa yang kemudian disebut ”pondok pesantren”. Kegiatan kaderisasi melalui pendidikan dan pengajaran sebagaimana di pesantren saat ini adalah efek dari pemberdayaan yang dilakukan oleh kiai. Sementara masyarakat dengan senang hati menitipkan putera-puterinya agar didik di pesantren. Masyarakat secara sukarela membangun dan menfasilitasi pengembangan pesantren. Kiai secara ikhlas mengabdi untuk mendidik generasi muda pedesaan, sementara masyarakat patuh dan tunduk terhadap apa yang menjadi keinginan dan cita-cita kiai. Posisi kiai yang demikian itu dianggap memiliki kewibawaan tersendiri, dan pada akhirnya menimbulkan suatu sosok kharismatik yang tidak dimiliki oleh tokoh-tokoh informal lainnya.
Kelebihan itu sangat memungkinkan dan bahkan mendorong sang kiai untuk mengembangkan sikap, persepsi, dan tindakan mereka agar lebih berwawasan luas ketimbang warga masyarakat lain. Menurut Laode Ida, setidaknya ada tiga faktor yang memungkinkan elite kiai memiliki otonomi dan kelebihan mempertahankan dominasi kulturalnya. Pertama, tingginya mobilitas kiai dalam membangun jaringan hubungan dengan komunitas di luar, baik sesama kiai—dalam jaringan tertentu—maupun dengan pihak lain, memungkinkan mereka memperoleh informasi baru yang belum dimiliki santri dan masyarakat sekitarnya. Kedua, posisi sentral dan ketokohan kiai di desa dan di pesantrennya, menjadikan mereka sebagai sumber rujukan dari orang-orang dari luar desa, dimana orang-orang yang datang ke desa (dengan berbagai kepentingannya) tidak bisa mengabaikan eksistensi dan peran kiai. Kiai hampir selalu dijadikan sebagai tempat bertanya dan sekaligus acuan bagi orang-orangluar desa.
Posisi itu menjadikan para kiai memiliki akses yang lebih luas dan bahkan lebih istimewa dari pihak lain sehingga ketokohan kiai bukan saja dalam konteks masyarakat desa dan santrinya, melainkan juga dalam kaca mata orang-orang yang berasal dari luar desa bersangkutan. Ketiga, sebagai dampak langsung dan tidak langsung dari posisinya, kiai biasanya memiliki kelebihan yang bersifat material dibandingkan dengan masyarakat sekitarnya, termasuk memiliki akses informasi yang lebih baik. Semua itu, dengan kata lain, menjadikan mereka memiliki kelebihan dalam bidang means of production dalam bentuk ideas dan sekaligus material, dimana semua itu dibutuhkan para santri dan masyarakat umumnya.
Keotonomian kiai membawa dampak pada pengembangan pesantren yang lebih dinamis dan independen dibandingkan dengan lembaga serupa yang memperoleh biaya dari pemerintah atau pihak lain. Kiai dengan keotonomiannya dapat menyampaikan gagasan kritis terhadap pemerintah atas segala ketidakmampaun dalam menjalankan amanah rakyat, tanpa dihantui rasa takut dalam menyampaikan kebenaran. Posisi seperti dimainkan kiai sebagai institusi independen dan exstra parlementer dalam mengontrol dan mengevaluasi kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak proporsional, dan mengarah pada praktik penyelewengan.